دارالإفتاءالمصرية : Perluas Makna Risywah

Darul Ifta’ Masriyah (Lembaga Fatwa Mesir) mengeluarkan fatwa tentang perluasan makna risywah. Risywah atau yang lebih dikenal dengan sebutan suap atau sogok yang diharamkan syari’at, tidak hanya sebagai ‘uang pelicin’ yang diberikan kepada seseorang tidak berhak menerimanya. Lebih dari itu, menurut Lembaga Fatwa Mesir, risywah juga meliputi pembayaran yang dilakukan oleh warga negara kepada pegawai, baik negeri atau swasta guna mendapatkan haknya, bisa juga pembayaran yang lakukan untuk membela diri.

Pengharaman tersebut di samping berlandaskan nash al-Qur’an dan hadis, juga berdasarkan kebijakan seluruh undang-undang positif. Karena risywah merupakan malapetaka. Baik ditinjau dari sisi norma agama maupun norma yang berlaku di masyarakat. Lebih lanjut Lembaga Fatwa Mesir menyatakan, tak ada keraguan lagi akan haramnya risywah dalam segala bentuk, jenis, corak, ragam dan tingkatannya -ma’lum bi al dharurah-. Demikian berdasarkan firman Allah Swt, “Dan janganlah kalian memakan harta di antara kamu dengan cara yang batil. Dan jangan pulalah kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188). “Allah melaknat orang yang memberi dan menerima suap.” (al-hadis)

Pembayar kepada orang lain dengan maksud agar segera mendapatkan haknya atau bertujuan membela diri dan kehormatan ini telah termasuk salah satu jenis risywah. Akan tetapi, menurut ulama pengharaman tersebut terbatas kepada penerima saja, sementara pihak yang membayar tidak dihukumi haram dengan syarat-syarat tertentu. Antara lain seperti, saat pihak yang membayar merasa yakin apa yang ia lakukan dapat membantunya menerima haknya atau mampu menghindarkannya dari kezhaliman. Bila tidak ada jalan lain, maka ia masuk dalam kategori mudhthar; orang yang terdesak. Dalam kondisi seperti ini empat mazhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali sepakat bahwa dosanya hanya ditanggung oleh pihak yang menerima.

Lembaga Fatwa Mesir menekankan kepada pejabat terkait agar memberikan bantuan kepada siapa saja yang membutuhkan bantuan agar terhindar dari dekadensi moral, fenomena ‘suap-menyuap atau sogok-menyogok’. Dan bagi para pelaku suap, pemberi dan penerima agar menyesali perbuatannya di hadapan Allah Swt, karena harta yang dihasilkan dari suap-menyuap tidak akan mendapatkan berkah.

Di pihak lain, Mantan Ketua Komite Fatwa, Syeikh Jamal Qutb menegaskan, suap diharamkan bagi pihak yang membayar, menjadi perantara dan memakannya, bila sesuatu atau posisi yang diinginkan râsyi -orang yang memberikan suap- tidak sesuai dengan kapasitas dirinya, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Adapun seseorang yang menuntut haknya kemudian mendesak pejabat terkait dengan sengaja menunda-nunda tanpa alasan yang jelas sehingga yang bersangkutan menjadi terdesak melakukan hal itu (suap; red) maka dosa ditanggung oleh penerima suap.

Lain halnya, jika yang melakukan suap untuk memperoleh sesuatu yang memang bukan haknya atau melebihi hak yang semestinya, maka kedua pihak sama-sama berdosa. Demikian merupakan risywah yang diharamkan oleh syari’at Islam.
Harian Dustur, edisi cetak. Hal. 3. Rubrik: Taqarir wal Akhbar.

ใส่ความเห็น